Who Cares? #part1
Dari kecil, semua anak sudah diajarkan untuk bermimpi, berangan, bercita-cita. Pokoknya, segala hal yang berhubungan dengan harapan di masa depan. Kala SD, aku ngomong ke guru bahwa aku pengin jadi dokter, itupun karena kopi jawaban temen-temen.
Yang sebenernya aku pikirkan di otak adalah; “Sebenernya apa sih tujuanku hidup di dunia ini?”
Waktu SMP juga sama, tapi kali ini bukan guru yang tanya, melainkan teman-teman sepergaulan. Karena dulu aku suka lihatin demo masak di televisi, di rumah tetangga, dan di rumah siapapun, akhirnya jawabanku adalah pengin jadi tukang masak. Ya, betapa bodoh aku ngomong kayak gitu di depan teman sendiri, padahal hati pun masih kocar-kacir mikirin masa depan.
Masa SMA juga nggak kalah absurd. Aku jawab pengin jadi guru bahasa Indonesia hanya karena nilai UN SMP dapat 8, bangga bisa ngalahin teman-teman yang katanya pintar dalam segala bidang. Ternyata, kesombongan alasan itu dibalas dengan aku yang dapat nilai 7 dalam UN SMA.
Di masa tiga tahun paling nano-nano itu pula, aku mempelajari berbagai hal berbau kepenulisan. Mulai dari EYD yang diubah jadi EBI, pungtuasi, bikin kisah sedemikian rupa untuk disebar ke publik. Sayangnya, hal itu nggak berlangsung lama.
Sekitar pertengahan kelas 11 sampai akhir SMA. Cerita yang kusebar di media online itu pun bukan selera pasar. Yang pertama adalah horor, kedua petualangan, dan ketiga bisa dikatakan fiksi remaja, tapi lagi, alurnya nggak sesuai keinginan khalayak.
Sejak itu, aku hilang akal, nggak tahu lagi harus mengisi hidupku dengan apa. Lulus SMA, nggak ada perubahan. Aku mendedikasikan diri untuk menganggur sejenak, nggak peduli tentang apa pun yang ada di luar sana. Pernah dua kali memblokir kontak teman-teman saking drop-nya. Bodo amat kalau mereka pikir aku kekanakan, aneh, sok sedih.
Terserah diksi mereka, yang penting aku tetep pada jalanku; hibernasi!
Setengah tahun menganggur, Mak Sar—salah satu tetangga rumah—akhirnya tawarin kerja di kantin sekolah. Berhubung suami yang biasa bantuin udah meninggal dan nggak tega lihat Mak Sar kerja sendirian, aku pun bersedia. Gaji yang diberikan emang nggak seberapa besar sampai aku bisa beli rumah sendiri. Setidaknya aku bisa keluar dari zona hibernasi ini, memulihkan diri dari masa-masa kelam itu.
SMA Hang Tuah 1 Surabaya. Itu nama sekolahnya. Mak Sar menyuruh aku bawa sepeda, sementara dia bawa motor. Kalau aku diboncengin, nasi, lauk, sama dagangan lain mau taruh mana? Ban? Lagi pun jaraknya dari rumah nggak terlalu jauh, sekitar 3 km, kalau aku pancal sepeda cuma butuh 10 menit.
Kini, ketika sudah sampai di parkiran khusus pedagang kantin, aku pun turun dari sepeda. Nggak sengaja menoleh, aku menemukan sosok paling menawan di antara kerumunan anak kelas 12 yang baru saja keluar dari lapangan. Buliran keringat turun pelan-pelan dari puncak kepalanya, pengin banget dilap kalau-kalau aku nggak sadar umur. Jika dihitung, aku dan dia hanya terpaut usia setahun.
Meski begitu, aku di matanya tetap aja ketuaan karena sudah nggak pakai seragam putih dan rok kelabu lagi.
Aku buru-buru masuk ke kantin, membantu Mak Sar menangani anak kelas 12 yang baru kelar latihan untuk ujian praktik olahraga beberapa bulan ke depan. Di balik etalase kaca berisi jajanan, mereka—terutama para pemudanya—meneriakkan namaku.
Bukan karena terpesona, mereka hanya ingin melihatku tertawa bersama kekonyolan kalimat yang sering dilontarkan oleh bocah-bocah tengil itu. Aku dapatkan jawaban tersebut ketika bertanya pada salah seorang dari mereka, namanya Kana.
“Rame, Lak?”
Ketika lapakku sudah sepi, Kana malah datang bersama senyum lebar.
“Nggak juga sih, kan belum istirahat. Tunggu aja nanti,” balasku.
Ia mengetuk kaca etalase sambil mengangguk-angguk. “Untung kemarin kamu nggak nonton aku futsal.”
Kana adalah tipe pemuda yang sering diangankan setiap wanita kala malam sebelum tidur. Jiwanya lembut, ramah, simpel, dan nggak pemaksa. Dia sering ajak aku nonton latihan atau pertandingan futsal timnya, tapi sering kali pula aku nolak.
Alasanku begitu bukan karena nggak suka bola, nggak ngerti cara mainnya, atau yang berhubungan langsung dengan bola. Sepele sebenernya, aku cuma nggak mau jadi pusat atensi. Cukup di kantin aja, jangan di lapangan.
“Kenapa emangnya?” tanyaku penasaran.
“Fu kena jegal.”
Fu, singkatan dari Fian Utama, laki-laki yang tadi pengin banget kuelap keringatnya. Seluruh sifatnya adalah kebalikan dari Kana. Arogan, pemaksa, sukanya main kasar. Aku bahkan bisa bayangin gimana Fu ngamuk-ngamuk sebelum Kana cerita panjang lebar. 50% pasti lucu, 50% lainnya pasti berlebihan.
Saat aku cengar-cengir bayangin itu, Kana langsung menarik rambutku. “Jangan mikir aneh-aneh,” katanya, “dia nggak ngamuk-ngamuk kemarin.”
“Terus?”
“Walk out like a boss.”
—
Aloha, this is me, Frisca.
Sengaja di gambar itu aku tulis hopeless story karena ... ya, itu emang diriku yang sekarang.
Komentar
Posting Komentar